Asal Daerah
Kabupaten Kotabaru - Banjarmasin - Kalimantan Selatan
Urang Banjar
Dari kiri ke kanan: Pangeran Antasari ·  Muhammad Arsyad al-Banjari ·  Muhammad Zaini Abdul Ghani ·  Taufiq Effendi ·  Syamsul Mu'arif ·  Gusti Muhammad Hatta ·  Abdul Hafiz Anshari ·  Rudy Ariffin ·  Anang Ardiansyah ·  Ian Kasela.
Sketsa seorang pembesar Kerajaan Banjar sekitar tahun 1850 (koleksi Museum Lambung Mangkurat).
Sejarah
Mitologi suku Dayak Meratus
 (Dayak Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar (terutama Banjar Pahuluan) 
dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Si Ayuh 
(Sandayuhan) yang menurunkan suku Bukit dan Bambang Basiwara yang 
menurunkan suku Banjar. Dalam khasanah cerita prosa rakyat berbahasa 
Dayak Meratus ditemukan legenda yang sifatnya mengakui atau bahkan 
melegalkan keserumpunan genetika (saling berkerabat secara geneologis) 
antara orang Banjar dengan orang Dayak Meratus. Dalam cerita prosa 
rakyat berbahasa Dayak Meratus dimaksud terungkap bahwa nenek moyang 
orang Banjar yang bernama Bambang Basiwara adalah adik dari nenek moyang
 orang Dayak Meratus yang bernama Sandayuhan. Bambang Basiwara 
digambarkan sebagai adik yang berfisik lemah tapi berotak cerdas. 
Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak yang berfisik kuat dan 
jago berkelahi. Sesuai dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau 
cikal-bakal orang Dayak Maratus, maka nama Sandayuhan sangat populer di 
kalangan orang Dayak Meratus. Banyak sekali tempat-tempat di seantero pegunungan Meratus
 yang sejarah keberadaannya diceritakan berasal-usul dari aksi heroik 
Sandayuhan. Salah satu di antaranya adalah tebing batu berkepala tujuh, 
yang konon adalah penjelmaan dari Samali’ing, setan berkepala tujuh yang
 berhasil dikalahkannya dalam suatu kontak fisik yang sangat menentukan. Orang Banjar merupakan keturunan Dayak yang telah memeluk Islam kemudian mengadopsi budaya Jawa, Melayu, Bugis dan Cina.
Menurut Denys Lombard, pada jaman kuna sebagian besar penduduk 
Kalimantan Selatan (terutama daerah Batang Banyu) merupakan keturunan 
pendatang dari Jawa. Pendapat lain menyatakan, suku Banjar jejak akarnya dari Sumatera lebih dari 1500 tahun yang lampau. Djoko Pramono menyatakan bahwa suku Banjar berasal dari suku Orang Laut yang menetap di Kalimantan Selatan.
Suku bangsa Banjar diduga berasal mula dari penduduk asal Sumatera atau daerah sekitarnya, yang membangun tanah air baru di kawasan Tanah Banjar
 (sekarang wilayah provinsi Kalimantan Selatan) sekitar lebih dari 
seribu tahun yang lalu. Setelah berlalu masa yang lama sekali 
akhirnya,–setelah bercampur dengan penduduk yang lebih asli, yang biasa 
dinamakan sebagai suku Dayak, dan dengan imigran-imigran yang berdatangan belakangan–terbentuklah setidak-tidaknya tiga subsuku, yaitu (Banjar) Pahuluan, (Banjar) Batang Banyu, dan Banjar (Kuala).
Banjar Pahuluan pada asasnya adalalah penduduk daerah lembah-lembah sungai (cabang sungai Negara) yang berhulu ke pegunungan Meratus. Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Negara, sedangkan orang Banjar Kuala mendiami sekitar Banjarmasin dan Martapura. Bahasa yang mereka kembangkan dinamakan bahasa Banjar, yang pada asasnya adalah bahasa Melayu Sumatera atau sekitarnya, yang di dalamnya terdapat banyak kosa kata asal Dayak dan Jawa. Nama Banjar diperoleh karena mereka dahulu (sebelum kesultanan Banjar dihapuskan pada tahun 1860) adalah warga Kesultanan Banjarmasin atau disingkat Banjar, sesuai dengan nama ibukotanya pada mula berdirinya. Ketika ibukota dipindahkan ke arah pedalaman (terakhir di Martapura), nama tersebut nampaknya sudah baku atau tidak berubah lagi.
Sejak abad ke-19, suku Banjar migrasi ke pantai timur Sumatera dan Malaysia, tetapi di Malaysia Barat, suku Banjar digolongkan ke dalam suku Melayu, hanya di Tawau (Sabah, Malaysia Timur) yang masih menyebut diriya suku Banjar. Di Singapura, suku Banjar sudah luluh ke dalam suku Melayu. Sensus tahun 1930, menunjukkan banyaknya suku Banjar di luar Kalsel, tetapi sensus tahun 2000 terlihat jumlahnya mengalami penurunan.
Kesultanan Banjar sebelumnya meliputi wilayah provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah seperti saat ini, kemudian pada abad ke-16 terpecah di sebelah barat menjadi kerajaan Kotawaringin yang dipimpin Pangeran Dipati Anta Kasuma bin Sultan Mustain Billah dan pada abad ke-17 di sebelah timur menjadi kerajaan Tanah Bumbu yang dipimpin Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah yang berkembang menjadi beberapa daerah: Sabamban, Pegatan, Koensan, Poelau Laoet, Batoe Litjin, Cangtoeng, Bangkalaan, Sampanahan, Manoenggoel, dan Tjingal. Wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur merupakan tanah rantau primer, selanjutnya dengan budaya maadam, orang Banjar merantau hingga ke luar pulau misalnya ke Kepulauan Sulu bahkan menjadi salah satu dari lima etnis yang pembentuk Suku Suluk (percampuran orang Buranun/Dayak Buranun, orang Tagimaha, orang Baklaya, orang Dampuan/Champa dan orang Banjar).[rujukan?]
 Hubungan antara Banjar dengan Kepulauan Sulu/Banjar Kulan terjalin 
ketika seorang Puteri dari Raja Banjar menikah dengan penguasa suku 
Buranun. Salah satu rombongan suku Suluk yang menghindari kolonial 
Spanyol dan mengungsi ke Kesultanan Banjar adalah moyang dari Syekh 
Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Banjar Pahuluan
Sangat mungkin sekali pemeluk Islam sudah ada sebelumnya di sekitar keraton yang dibangun di Banjarmasin, tetapi pengislaman secara massal diduga terjadi setelah raja Pangeran Samudera yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam diikuti warga kerabatnya, yaitu bubuhan raja-raja. Perilaku raja ini diikuti elit ibukota, masing-masing tentu menjumpai penduduk yang lebih asli, yaitu suku Dayak Bukit,
 yang dahulu diperkirakan mendiami lembah-lembah sungai yang sama. 
Dengan memperhatikan bahasa yang dikembangkannya, suku Dayak Bukit 
adalah satu asal usul dengan cikal bakal suku Banjar, yaitu sama-sama 
berasal dari Sumatera
 atau sekitarnya, tetapi mereka lebih dahulu menetap. Kedua kelompok 
masyarakat Melayu ini memang hidup bertetangga, tetapi setidak-tidaknya 
pada masa permulaan, pada asasnya tidak berbaur. Jadi, meskipun kelompok
 Suku Banjar (Pahuluan) membangun pemukiman di suatu tempat, yang 
mungkin tidak terlalu jauh letaknya dari balai suku Dayak Bukit, namun masing-masing merupakan kelompok yang berdiri sendiri.
Untuk kepentingan keamanan,
 atau karena memang ada ikatan kekerabatan, cikal bakal suku Banjar 
membentuk komplek pemukiman tersendiri. Komplek pemukiman cikal bakal 
suku Banjar (Pahuluan) yang pertama ini merupakan komplek pemukiman bubuhan,
 yang pada mulanya terdiri dari seorang tokoh yang berwibawa sebagai 
kepalanya, dan warga kerabatnya, dan mungkin ditambah dengan keluarga-keluarga lain yang bergabung dengannya. Model yang sama atau hampir sama juga terdapat pada masyarakat balai
 di kalangan masyarakat Dayak Bukit, yang pada asasnya masih berlaku 
sampai sekarang. Daerah lembah sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Meratus ini nampaknya wilayah
 pemukiman pertama masyarakat Banjar, dan di daerah inilah konsentrasi 
penduduk yang banyak sejak zaman kuno, dan daerah inilah yang dinamakan Pahuluan.
 Apa yang dikemukakan di atas menggambarkan terbentuknya masyarakat 
(Banjar) Pahuluan, yang tentu saja dengan kemungkinan adanya unsur Dayak
 Bukit ikut membentuknya.
Banjar Batang Banyu
Masyarakat (Banjar) Batang Banyu terbentuk diduga erat sekali berkaitan dengan terbentuknya pusat kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Banjar, yang barangkali terbentuk mula pertama di hulu sungai Negara atau cabangnya yaitu sungai Tabalong. Sebagai warga yang berdiam di ibukota tentu merupakan kebanggaan tersendiri, sehingga menjadi kelompok penduduk yang terpisah. Daerah tepi sungai Tabalong adalah merupakan tempat tinggal tradisional dari suku Dayak Maanyan (dan Lawangan), sehingga diduga banyak yang ikut serta membentuk subsuku Batang Banyu, di samping tentu saja orang-orang asal Pahuluan
 yang pindah ke sana dan para pendatang yang datang dari luar. Bila di 
Pahuluan umumnya orang hidup dari bertani (subsistens), maka banyak di 
antara penduduk Batang Banyu yang bermata pencarian sebagai pedagang dan pengrajin.
Banjar Kuala
Ketika pusat kerajaan dipindahkan ke Banjarmasin (terbentuknya Kesultanan Banjarmasin),
 sebagian warga Batang Banyu (dibawa) pindah ke pusat kekuasaan yang 
baru ini dan bersama-sama dengan penduduk sekitar keraton yang sudah ada
 sebelumnya, membentuk subsuku Banjar. Di kawasan ini mereka berjumpa 
dengan suku Dayak Ngaju, yang seperti halnya dengan masyarakat Dayak Bukit dan masyarakat Dayak Maanyan atau Lawangan, banyak di antara mereka yang akhirnya melebur ke dalam masyarakat Banjar, setelah mereka memeluk agama Islam. Mereka yang bertempat tinggal di sekitar ibukota kesultanan inilah sebenarnya yang dinamakan atau menamakan dirinya orang Banjar,
 sedangkan masyarakat Pahuluan dan masyarakat Batang Banyu biasa 
menyebut dirinya sebagai orang (asal dari) kota-kota kuno yang terkemuka
 dahulu. Tetapi bila berada di luar Tanah Banjar, mereka itu tanpa kecuali mengaku sebagai orang Banjar.
Berbeda dengan pendapat Alfani Daud, yang menyatakan bahwa inti suku Banjar adalah para pendatang Melayu dari Sumatera dan sekitarnya, maka pendapat Idwar Saleh justru lebih menekankan bahwa penduduk asli
 suku Dayak adalah inti suku Banjar yang kemudian bercampur membentuk 
kesatuan politik sebagaimana Bangsa Indonesia dilengkapi dengan bahasa Indonesia-nya.
Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan. Dalam amalgamasi (campuran) baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton.
 Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu 
tidak ada, yang ada adalah grup atau kelompok besar yaitu kelompok 
Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan.
Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura. Yang kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan-etnik Maanyan,
 kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan etnik Bukit. Ketiga ini 
adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria 
dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya.
Ketika Pangeran Samudera
 mendirikan kerajaan Banjar, ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu 
patih-patihnya seperti Patih Belandean, Patih Belitung, Patih Kuwi dan 
sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula penduduk Daha
 yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Maanyan. Kelompok ini 
diberi agama baru yaitu agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia 
kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu
 baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan 
kesatuan etnis tetapi kesatuan politik, seperti bangsa Indonesia.
Sosio-historis
Secara sosio-historis masyarakat Banjar adalah kelompok sosial 
heterogen yang terkonfigurasi dari berbagai sukubangsa dan ras yang 
selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama, sehingga kemudian
 membentuk identitas etnis (suku) Banjar. Artinya, kelompok sosial 
heterogen itu memang terbentuk melalui proses yang tidak sepenuhnya 
alami (priomordial), tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain 
yang cukup kompleks. 
Islam 
telah menjadi ciri masyarakat Banjar sejak berabad-abad yang silam. 
Islam juga telah menjadi identitas mereka, yang membedakannya dengan 
kelompok-kelompok Dayak yang ada di sekitarnya, yang umumnya masih 
menganut religi sukunya. Memeluk Islam merupakan kebanggaan tersendiri, 
setidak-tidaknya dahulu, sehingga berpindah agama di kalangan masyarakat
 Dayak dikatakan sebagai "babarasih" (membersihkan diri) di samping menjadi orang Banjar.
Masyarakat Banjar bukanlah suatu yang hadir begitu saja, tapi ia 
merupakan konstruksi historis secara sosial suatu kelompok manusia yang 
menginginkan suatu komunitas tersendiri dari komunitas yang ada di 
kepulauan Kalimantan. Etnik Banjar merupakan bentuk pertemuan berbagai 
kelompok etnik yang memiliki asal usul beragam yang dihasilkan dari 
sebuah proses sosial masyarakat yang ada di daerah ini dengan titik 
berangkat pada proses Islamisasi yang dilakukan oleh Demak sebagai syarat berdirinya Kesultanan Banjar. Banjar
 sebelum berdirinya Kesultanan Islam Banjar belumlah bisa dikatakan 
sebagai sebuah ksesatuan identitas suku atau agama, namun lebih tepat 
merupakan identitas yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang 
menjadi tempat tinggal.
Suku Banjar yang semula terbentuk sebagai entitas politik 
terbagi 3 grup (kelompok besar) berdasarkan teritorialnya dan unsur 
pembentuk suku berdasarkan persfektif kultural dan genetis yang 
menggambarkan percampuran penduduk pendatang dengan penduduk asli Dayak:
- Grup Banjar Pahuluan adalah campuran orang Melayu-Hindu dan orang Dayak Meratus (unsur Dayak Meratus/Bukit sebagai ciri kelompok)
- Grup Banjar Batang Banyu adalah campuran orang Pahuluan, orang Melayu-Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Dayak Maanyan, orang Dayak Lawangan, orang Dayak Bukit dan orang Jawa-Hindu Majapahit (unsur Dayak Maanyan sebagai ciri kelompok)
- Grup Banjar Kuala adalah campuran orang Kuin, orang Batang Banyu, orang Dayak Ngaju (Berangas, Bakumpai), orang Kampung Melayu, orang Kampung Bugis-Makassar, orang Kampung Jawa, orang Kampung Arab, dan sebagian orang Cina Parit yang masuk Islam (unsur Dayak Ngaju sebagai ciri kelompok). Proses amalgamasi masih berjalan hingga sekarang di dalam grup Banjar Kuala yang tinggal di kawasan Banjar Kuala - kawasan yang dalam perkembangannya menuju sebuah kota metropolitan yang menyatu (Banjar Bakula).
Dengan mengambil pendapat Idwar Saleh
 tentang inti suku Banjar, maka percampuran suku Banjar dengan suku 
Dayak Ngaju/suku serumpunnya (Kelompok Barito Barat) yang berada di 
sebelah barat Banjarmasin (Kalimantan Tengah) dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Kuala juga. Di sebelah utara Kalimantan Selatan terjadi percampuran suku Banjar dengan suku Maanyan/suku serumpunnya (Kelompok Barito Timur) seperti Dusun, Lawangan dan suku Pasir di Kalimantan Timur yang juga berbahasa Lawangan, dapat kita asumsikan sebagai kelompok Banjar Batang Banyu. Percampuran suku Banjar di tenggara Kalimantan yang banyak terdapat suku Bukit kita asumsikan sebagai Banjar Pahuluan.
Berdasarkan sensus 1930, suku Banjar di Kalimantan Selatan terdapat 
di Kota Banjarmasin (89,19%), Afdeeling Banjarmasin tidak termasuk Kota 
Banjarmasin (94,05%), Afdeeling Hulu Sungai (93,75%), kota Kotabaru 
(69,45%), Pulau Laut tidak termasuk kota Kotabaru (48,96%), wilayah Tanah Bumbu (56,74%).
Sistem kekerabatan
| Waring | 
| ↑ | 
| Sanggah | 
| ↑ | 
| Datu | 
| ↑ | 
| Kai (kakek) + Nini (nenek) | 
| ↑ | 
| Abah (ayah) + Uma (ibu) | 
| ↑ | 
| Kakak < ULUN > Ading | 
| ↓ | 
| Anak | 
| ↓ | 
| Cucu | 
| ↓ | 
| Buyut | 
| ↓ | 
| Intah/Muning | 
Bagi ULUN juga terdapat panggilan untuk saudara dari ayah atau ibu, saudara tertua disebut Julak, saudara kedua disebut Gulu, saudara berikutnya disebut Tuha, saudara tengah dari ayah dan ibu disebut Angah, dan yang lainnya biasa disebut Pakacil (paman) dan Makacil (bibi), sedangkan termuda disebut Busu. Untuk memanggil saudara dari kai dan nini sama saja, begitu pula untuk saudara datu.
Disamping istilah di atas masih ada pula sebutan lainnya, yaitu:
· minantu (suami / isteri dari anak ULUN)
· pawarangan (ayah / ibu dari minantu)
· mintuha (ayah / ibu dari suami / isteri ULUN)
· mintuha lambung (saudara mintuha dari ULUN)
· sabungkut (orang yang satu Datu dengan ULUN)
· mamarina (sebutan umum untuk saudara ayah/ibu dari ULUN)
· kamanakan (anaknya kakak / adik dari ULUN)
· sapupu sakali (anak mamarina dari ULUN)
· maruai (isteri sama isteri bersaudara)
· ipar (saudara dari isteri / suami dari ULUN)
· panjulaknya (saudara tertua dari ULUN)
· pambusunya (saudara terkecil dari ULUN)
· badangsanak (saudara kandung)
Untuk memanggil orang yang seumur boleh dipanggil ikam, boleh juga menggunakan kata aku untuk menunjuk diri sendiri. Sedangkan untuk menghormati atau memanggil yang lebih tua digunakan kata pian, dan kata ulun untuk menunjuk diri sendiri.
Kebudayaan
Keterampilan Mengolah Lahan Pasang Surut
Salah satu keahlian orang Banjar adalah mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan budi daya pertanian dan permukiman. Kota Banjarmasin didirikan di atas lahan pasang surut.
Rumah Banjar
Rumah Banjar
 adalah rumah tradisional suku Banjar. Arsitektur tradisional 
ciri-cirinya antara lain mempunyai perlambang, mempunyai penekanan pada 
atap, ornamental, dekoratif dan simetris. Rumah tradisonal Banjar adalah
 tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai 
berkembang sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Dari sekian banyak jenis-jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi merupakan jenis rumah Banjar yang paling dikenal dan menjadi identitas rumah adat suku Banjar.
Tradisi lisan
Tradisi lisan oleh Suku Banjar sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar (yang kemudian hari menjadi sebuah kesenian) berkembang sekitar abad ke-18 yang di antaranya adalah Madihin dan Lamut. Madihin berasal dari bahasa Arab, yakni madah (ﻤﺪﺡ)
 yang artinya pujian. Madihin merupakan puisi rakyat anonim bertipe 
hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan 
bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi yang 
berlaku secara khusus dalam khasanah folklor Banjar di Kalsel. Sedangkan Lamut
 adalah sebuah tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan 
nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya Banjar. Lamut berasal dari 
negeri Cina dan mulanya menggunakan bahasa Tionghoa. Namun, setelah dibawa ke Tanah Banjar oleh pedagang-pedagang Cina, maka bahasanya disesuaikan menjadi bahasa Banjar.
Teater
Satu-satunya seni teater tradisional yang berkembang di pulau Kalimantan adalah Mamanda. Mamanda adalah seni teater atau pementasan tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan. Dibanding dengan seni pementasan yang lain, Mamanda lebih mirip dengan Lenong
 dari segi hubungan yang terjalin antara pemain dengan penonton. 
Interaksi ini membuat penonton menjadi aktif menyampaikan 
komentar-komentar lucu yang disinyalir dapat membuat suasana jadi lebih 
hidup.
Bedanya, Kesenian lenong kini lebih mengikuti zaman ketimbang Mamanda
 yang monoton pada alur cerita kerajaan. Sebab pada kesenian Mamanda 
tokoh-tokoh yang dimainkan adalah tokoh baku seperti Raja, Perdana 
Menteri, Mangkubumi, Wazir, Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan 
kedua, Khadam (Badut/ajudan), Permaisuri dan Sandut (Putri).
Tokoh-tokoh ini wajib ada dalam setiap Pementasan. Agar tidak 
ketinggalan, tokoh-tokoh Mamanda sering pula ditambah dengan tokoh-tokoh
 lain seperti Raja dari Negeri Seberang, Perompak, Jin, Kompeni dan 
tokoh-tokoh tambahan lain guna memperkaya cerita.
Disinyalir istilah Mamanda digunakan karena di dalam lakonnya, para 
pemain seperti Wazir, Menteri, dan Mangkubumi dipanggil dengan sebutan pamanda atau mamanda oleh Sang Raja. Mamanda secara etimologis terdiri dari kata "mama" (mamarina) yang berarti paman dalam bahasa Banjar
 dan “nda” yang berarti terhormat. Jadi mamanda berarti paman yang 
terhormat. Yaitu “sapaan” kepada paman yang dihormati dalam sistem 
kekerabatan atau kekeluargaan.
Musik
Salah satu kesenian berupa musik tradisional khas Suku Banjar adalah Musik Panting.
 Musik ini disebut Panting karena didominasi oleh alat musik yang 
dinamakan panting, sejenis gambus yang memakai senar (panting) maka 
disebut musik panting. Pada awalnya musik panting berasal dari daerah 
Tapin, Kalimantan Selatan. Panting merupakan alat musik yang dipetik 
yang berbentuk seperti gabus Arab tetapi ukurannya lebih kecil. Pada 
waktu dulu musik panting hanya dimainkan secara perorangan atau secara 
solo. Karena semakin majunya perkembangan zaman dan musik panting akan 
lebih menarik jika dimainkan dengan beberapa alat musik lainnya, maka 
musik panting sekarang ini dimainkan dengan alat-alat musik seperti 
babun, gong,dan biola dan pemainnya juga terdiri dari beberapa orang. 
Nama musik panting berasal dari nama alat musik itu sendiri, karena pada
 musik panting yang terkenal alat musik nya dan yang sangat berperan 
adalah panting, sehingga musik tersebut dinamai musik panting. Orang 
yang pertama kali memberi nama sebagai musik panting adalah A. SARBAINI.
 Dan sampai sekarang ini musik panting terkenal sebagai musik 
tradisional yang berasal dari Kalimantan Selatan.
Selain itu, ada sebuah kesenian musik tradisional Suku Banjar, yakni Musik Kentung. Musik ini berasal dari daerah Kabupaten Banjar yaitu di desa Sungai Alat, Astambul dan kampung Bincau, Martapura.
 Pada masa sekarang, musik kentung ini sudah mulai langka. Masa dahulu 
alat musik ini dipertandingkan. Dalam pertandingan ini bukan saja pada 
bunyinya, tetapi juga hal-hal yang bersifat magis, seperti kalau dalam 
pertandingan itu alat musik ini bisa pecah atau tidak dapat berbunyi 
dari kepunyaan lawan bertanding.
Tarian
Seni Tari Banjar terbagi menjadi dua, yaitu seni tari yang 
dikembangkan di lingkungan istana (kraton), dan seni tari yang 
dikembangkan oleh rakyat. Seni tari kraton ditandai dengan nama "Baksa" 
yang berasal dari bahasa Jawa (beksan) yang menandakan kehalusan gerak 
dalam tata tarinya. Tari-tari ini telah ada dari ratusan tahun yang 
lalu, semenjak zaman hindu, namun gerakan dan busananya telah 
disesuaikan dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Contohnya, 
gerakan-gerakan tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan adab islam 
mengalami sedikit perubahan.
Kuliner
Masakan tradisional Banjar diantaranya: sate Banjar[52], soto Banjar, kue bingka dan lain-lain.
Senjata Tradisional
Berdasarkan hasil wawancara langsung dengan orang yang pernah 
memakainya, senjata tradisional suku banjar yang biasa digunakan dalam 
kehidupan sehari-hari antara lain :
- 1. Serapang
Serapang adalah tombak bermata lima mata dimana empat mata mekar 
seperti cakar elang dengan bait pengait di tiap ujungnya. Satu mata lagi
 berada di tengah tanpa bait, yang disebut “besi lapar” yang di percaya 
dapat merobohkan orang yang memiliki ilmu kebal sekuat apappun.
- 2. Tiruk
Tiruk adalah tombak panjang lurus tanpa bait digunakan untuk berburu ikan haruan (ikan gabus) dan toman di sungai.
- 3. Pangambangan
Pangambangan adalah tombak lurus bermata satu dengan bait di kedua sisinya.
- 4. Duha
Duha adalah pisau bermata dua yang sering digunakan untuk berburu babi.
- 5. Mandau
Senjata Yang digunakan untuk peperangan, berladang, bertani, dan berburu.
- 6. Parang Maya
Parang Maya digunakan sebagai alat pengobat sekaligus alat santet.
- 7. Sumpit
Sumpit digunakan untuk berburu, meracun binatang buas, dan maiwak. 





 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar